Pencarian Blog

< Laskar Satoetoejoeh K-Link Larantuka>

3 SEJARAH KERAJAAN LARANTUKA

Sabtu, 22 Maret 2014


KERAJAAN LARANTUKA


Kerajaan Larantuka termasuk kerajaan yang tua, berusia sekira 700 tahun. Sistem pemerintahan mulai dikenal masyarakat Larantuka sejak abad ke-13. Sistem pemerintahan ini terdiri atas Raja, Pou Suku Lema dan Kakang Lewo Pulo. Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi adat dan pemerintahan. Pou Suku Lema yang berarti “Empu yang Lima” merupakan dewan mahkota yang memegang peranan sebagai penasehat Raja sekaligus menjalankan tugas-tugas legislatif. Kakang merupakan raja-raja kecil, memerintahkan kekakangan masing-masing yang bersifat otonom. Ini diperkuat catatan sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Saat itu Larantuka merupakan salah satu kerajaan yang berhasil ditaklukkan serdadu Majapahit yang dipimpin Patih Gajah Mada pada abad ke-14.

Sebelum ditaklukkan Majapahit, wilayah Larantuka dihuni suku asli Flores Timur yang dikenal sebagai suku Ile Jadi. Suku asli ini kemudian membaur dengan pendatang. Warga pendatang ini berasal dari berbagai tempat. Ada pendatang dari suku lain di sekitar wilayahnya yang terdampar karena perahu (tena) mereka terombang-ambing gelombang laut saat berlayar. Suku Keroko Puken merupakan salah satu suku tetangga yang bermigrasi ke Larantuka. Mereka berasal dari Pulau Lepan Batang di sekitar kawasan perairan laut Flores Timur yang telah tenggelam ke bawah permukaan air laut.

Ada pula suku pendatang dari Jawa beragama Hindu yang oleh masyarakat lokal disebut sebagai warga Sina Jawa. Mereka mulai masuk ke Larantuka pada masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa pada abad ke-12.

Pendatang dari Bugis dan Makassar menyusul tiba di Larantuka pada abad ke-16. Suku Ambon kemudian menginjakkan kaki pula di wilayah ini pada abad ke-17. Petualang dan misionaris Portugis ikut menambah daftar jumlah pendatang. Mereka disertai imigran besar-besaran penduduk Melayu Kristen yang mengungsi ke Flores Timur saat kekuasaan Portugis di Malaka ditaklukkan Belanda tahun 1614.

Menurut tokoh Katolik Flores Timur, Drs. Bernardus Tukan, ada versi lain mengenai asal-usul Kerajaan Larantuka. Versi ini masih hidup dalam tradisi lisan rakyat Larantuka hingga sekarang. Kerajaan Larantuka dipercayai sebagai sebuah dinasti kekuasaan yang didirikan seorang pendatang dari Jawa bernama Pati Golo Arakiang. Sosok pendiri kerajaan ini disebut-sebut masih ada hubungannya dengan Majapahit. Ini khususnya dikaitkan dengan kata “pati” yang berasal dari “patih” dan “arkyan” yang berarti rakyat dalam bahasa kawi. Figur Pati Golo Arakiang disimbolkan sejajar dengan kedudukan seorang patih di Majapahit.

Pati Golo Arakiang didaulat suku Ile Jadi untuk mendirikan Kerajaan Larantuka. Ini berawal dari perkawinan Pati Golo Arakiang dengan Wato Wele Oa Dona. “Dari sini muncul keturunan baru suku asli Flores Timur. Ada tiga anak yang lahir dari perkawinan tersebut, yaitu Kudi Lelen Bala, Padu Ile, dan Lahalapan,” Tiga putra raja ini melahirkan generasi komunitas warga baru. Putra sulung raja, Kudi Lelen Bala, mewariskan keturunan yang kini dikenal sebagai orang Waibalun. Putra kedua, Padu Ile, menurunkan para raja Larantuka. Sementara putra bungsu raja, Lahalapan, melahirkan keturunan yang sekarang termasuk dalam komunitas Balela.

“Namun, Sira Demong Pagong Molang justru dianggap sebagai Raja Larantuka pertama. Sebab, raja inilah yang dinilai sebagai peletak dasar tata kelola pemerintahan kerajaan,” katanya.

Semula pusat pemerintahan bukan di Larantuka, tetapi di sebuah wilayah daratan bernama Lokea. Ada 10 wilayah kerajaan atau kekakangan (kakang schap) yang masing-masing dipimpin seorang kakang. Pendatang dari Jawa diberi lokasi pemukiman di daerah Lebao, dan suku pendatang Kroko Puken di Lewore dan Lohayong.

Komunitas Islam (kaum Paji) menghuni wilayah pesisir di sepanjang wilayah pantai (watan). Wilayahnya dikenal ada di Lembata, Adonara, Solor, dan Tanjung Bunga. Raja (kakang) Adonara menjadi pimpinan komunitas Islam ini.

“Pusat pemerintahan Kerajaan Larantuka kemudian pindah dari Lokea ke Larantuka,”

Perkembangan Agama Katolik di Pulau Solor dan Larantuka

Merunut catatan sejarah, pedagang Portugis mulai tinggal di Solor, sebuah pulau kecil lima killometer sebelum Larantuka, sejak 1520. Para pedagang rempah berkebangsaan Portugis tsb. tinggal di rumah-rumah sederhana. Oleh karena agamanya, mereka berdoa secara Katolik di sana. Baru pada 1561 empat pater Ordo Dominikan dikirim dari Malaka ke Solor.

Empat pater itu menetap di Solor, melayani pedagang-pedagang Portugis, dan mewartakan Injil ke penduduk lokal. Kehadiran orang asing yang menyebarkan agama baru tidak diterima begitu saja sehingga terjadi sejumlah perlawanan berdarah. Untuk melindungi diri dari serangan penduduk lokal, pada 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun benteng di Lohayong (sekarang Kecamatan Solor Timur).

Terlepas adanya perlawanan pada awal misi, penyebaran agama Katolik di Kepulauan Solor (sekarang Kabupaten Flores Timur) terbilang sukses. Berdasarkan catatan Mark Schellekens dan Greg Wyncoll, penulis dan fotografer yang telah melakukan penelitian di Solor, di dalam banteng itu dibangun asrama, gereja, dan bahkan seminari. Pada tahun 1600 tercatat ada 50 siswa (seminaris) yang belajar menjadi rohaniwan Katolik. Bisa dipastikan inilah seminari Katolik pertama di Indonesia. Pada tahun yang sama, para misionaris perintis ini telah berhasil mendirikan 18 gereja di Solor dan sekitarnya.

Namun, kekuasaan Portugis tidak bertahan lama. Pada 27 Januari 1613 sebuah armada Belanda datang ke Solor. Kapten Manuel Alvares mengerahkan 30 orang Portugis serta seribu penduduk lokal untuk mempertahankan benteng di Lohayong. Portugis kalah setelah berperang selama tiga bulan. Pada 18 April 1613 benteng itu jatuh ke tangan Belanda yang lantas mengganti nama benteng menjadi Benteng Henricus. Pada tahun 1615 Belanda meninggalkan Lohayong, tetapi datang lagi tiga tahun kemudian. Entah kenapa, Belanda melepaskan benteng pada tahun 1630. Orang Portugis pun menempati kembali benteng tsb. hingga tahun 1646 ketika mereka diusir lagi oleh Belanda.

Bagsa Portugis ternyata selalu kalah dari Belanda meski jumlah pasukannya lebih banyak. Tentu saja, perang terus-menerus antara sesama penjajah ini membuat kekatolikan yang masih sangat muda tidak berkembang. Melihat suasana yang tidak kondusif tersebut, pater-pater Dominikan memindahkan markasnya ke Larantuka.

Selanjutnya, Larantuka yang berada di pinggir laut itu menjadi pusat misi Katolik di Nusa Tenggara Timur, kemudian Timor Timur, bahkan Indonesia. Misi di Larantuka lebih sukses karena ada traktat antara Belanda dan Portugis untuk membiarkan para pater Dominikan menyebarkan agama Katolik di Flores dan sekitarnya

Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.

Meski kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara– sangat diwarnai unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.

Warisan Tradisi Bangsa Portugis

Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru. Kala itu, orang Portugis membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut cerita rakyat merupakan penemu patung Mater Dolorosa yang terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama. Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi bernama Conferia, yang mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.

Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari. Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.

Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.

Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peran para Raja Larantuka, para misionaris, perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan semua Suku Semana, serta para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).

Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar “Semana Santa” dan Prosesi Jumad Agung atau “Sesta Vera”. Kedua ritual ini dikenal sebagai “Anak Sejarah Nagi” juga sebagai “Gembala Tradisi” di tanah Nagi-Larantuka. Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih, dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya. Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis dan Latin.

Silsilah Raja-Raja Larantuka
1. Putri Ile Jadi (Putri Watowele yang kawin dengan Raja Pati Golo Arkyan)
2. Raja Padu Ile
3. Raja Sira Demong Pagamolang
4. Raja Mau Boli
5. Raja Sira Paing
6. Raja Sira Lanang
7. Raja Sira Napang
8. Raja Igo
9. Raja Adu Wuring
10. Raja Ado Bala
11. Raja Ola Ado Bala (tahun 1665 dipermandikan menjadi Katolik dengan nama Don Fransisco Diaz Viera de Godinho/DVG)
12. Don Gaspar I DVG (Nama asli: Raja Patih Goloh)
13. Don Manuel DVG (Nama asli: Raja Kuaka Douwo Ama. Karena masih kecil maka diwakili oleh Don Constantino Blanterang de Rosari / Raja Kone)
14. Don Andre I DVG (nama asli: Raja Pandai I)
15. Don Lorenzo I DVG
16. Don Andre II DVG
17. Don Gaspar II
18. Don Dominggo DVG (Raja Ence. Memerintah tahun 1877-1887)
19. Don Lorenzo II DVG (Raja Usi Neno. Memerintah tahun 1887-1904. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Yogyakarta. Meninggal tahun 1910 di Yogya)
20. Wakil Raja Luis Blanterang de Rosari (1905-1906)
21. Triumvirat yang terdiri dari Payong Blanterang de Rosari, Emanuel Monteiro, dan Yohanes Blanterang de Rosari (1906-1912)
22. Wakil Raja Antonius Blanterang de Rosari (1919-1937)
23. Don Lorenzo III DVG (Raja Nua Usi. Memerintah tahun 1937-1962 dan merupakan raja terakhir Kerajaan Larantuka)



SEJARAH KERAAJAAN LARANTUKA

 PERNIKAHAN PUTRA RAJA

 BUNDA MARIA YG DINOBATKAN SBG RATU KERAJAAN LARANTUKA OLEH RAJA DON LORENZO VSINENO 2 DVG DAN MENYERAHKAN TONGKAT KERAJAAN PD PATUNG BUNDA MARIA(8 SEPT.1886)



 ISTRI KE 3 RAJA,DONA MARTINA KANENA XIMENES DASILVA YG KINI BERUSIA 90THN

 KELUARGA ISTANA

 ISTANA LARANTUKA NAMPAK DR DALAM

 TIM KESEBELASAN PERSEFTIM YG TAK LUPA MEMINTA BERKAT  PADA LEWOTANA,SAAT  MAU BERTANDING DI ELTARI CUP

 MERIAM PENINGGALAN BERSEJARAH TEPAT DI DEPAN ISTANA

 FOTO KELUARGA KERAJAAN



LARANTUKA adalah sebuah kerajaan turunan langsung dari "Pati Golo Ara Kian" dan Isterinya "Wato Wele Ata Utan". Pasangan purba ini diyakini sebagai manusia yang terlahir dari rahim gunung "Mandiri". Tercatat dalam sejarah, pada abad XI-XIII, antara Kerajaan Larantuka dan Kerajaan Majapahit telah terjadi kontak dagang yang sekaligus membawa pengaruh Hindu yang berkembang di Larantuka dan sekitarnya. Sedangkan pengaruh Islam terdapat di Lamahala, Terong, Adonara, dan sekitarnya. Kerajaan Larantuka adalah sebuah Kerajaan Tua, yang menurut taksiran telah berusia sekitar 700 tahun. Gelombang perpindahan suku-suku, baik yang berasal dari Barat maupun Timur dalam perkembangannya kemudian berbaur dalam proses perkawinan dan asimilasi kebudayaan. Dan akhirmya menjelma dalam ke dalam suatu ikatan sosial yang lebih besar meliputi seluruh wilayah Kepulauan Solor, dikenal dengan sebutan suku "Lamaholot", dan bahasa yang digunakan adalah bahasa "Lamaholot" dan juga adat istiadat "Lamaholot". Dalam sejarah Kerajaan Larantuka, hanya dapat satu dinasti yang memerintah sebagai Raja, yang kemudian menggunakan nama barat, Diaz Viera de Godinho (DVG).



 RITUS :
Upacara ritual pengorbanan hewan memiliki posisi yang cukup penting dan mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada bermacam lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang ataupun damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.

LEGENDA :
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung Ile Mandiri.[10] Wanita tersebut disebut sebagai Tuan Ma yang tidak lain adalah Bunda Maria.[11] Karena terdapat sebuah arca (patung) Tuan Ma yang diyakini sebagai penjelmaan langsung dari Bunda Maria.[11] Menurut cerita legenda Resiona (seorang penduduk asli Larantuka) adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih yang terdampar di bibir Pantai Larantuka.[11] Konon, tujuan orang Portugis membawa Resiona ke Malaka adalah untuk belajar agama Katolik.[11]

Read more

1 Duyung Seksi di Pulau Buton


Duyung Seksi di Pulau Buton


                                        seorang peneliti bersama seekor ikan duyung di Pulau Buton
SAAT berkunjung ke Sea World di kawasan wisata Ancol, saya melihat sepasang ikan duyung. Ikan itu berukuran besar dan berwarna putih. Mulanya, saya terheran-heran karena bentuk ikan duyung ini tidak sesuai dengan dongeng atau kisah dalam film produksi Disney tentang hewan yang berbadan ikan, namun berwajah wanita cantik. Lebih terkejut lagi ketika tour guide di Sea World mengatakan, “Ikan duyung ini didatangkan dari Pulau Buton.” What? Itu kan kampung halaman saya.
Dahulu, saya beranggapan bahwa ikan ini berwajah gadis cantik bertubuh seksi. Saya membayangkan ikan ini berwajah seperti Britney Spears atau wanita jelita Inggris bernama Kate Middleton, istri dari Pangeran William. Ternyata ikan ini adalah jenis ikan yang tambun seperti paus, dan memiliki beberapa ciri yang mirip manusia. Di antaranya adalah tangan, lima jari, buah dada, serta bisa mengeluarkan air mata. Apakah seksi? Seorang teman peneliti kelautan justru menyebut duyung itu seksi jika dilihat dari satu sisi yakni tubuhnya berisi, memiliki pinggul, serta bertubuh seperti wanita. Apakah Anda setuju?
Di beberapa tempat, ikan ini sering disebut dugong. Kata dugong berasal dari bahasa Tagalog yang berarti perempuan laut. Orang Melayu, lebih suka menyebutnya duyung. Sebutan inilah yang populer di tanah air. Uniknya, mitos tentang ikan ini lebih sering ditemukan di Eropa.
Di Yunani, terdapat mitos tentang putri duyung yang dikatakan selalu menggoda para pelaut yang lalai. Siapa saja yang tergoda akan menemui ajalnya. Masyarakat Babilonia juga menyembah putri duyung sebagai dewa laut yang dikenal sebagai Ea atau Oannes. Oannes digambarkan sebagai duyung jantan. Saya juga menemukan mitos tentang ikan ini pada legenda masyarakat Afrika, Rusia, dan Ukraina. Di Asia, bangsa Jepang punya kisah atau legenda tentang duyung.

                                  ikan duyung sebagaimana gambaran dalam film The Little Mermaid
Harus diakui, sosok yang mempopulerkan legenda ikan ini adalah pengarang Hanz Christian Andersen yang menulis The Little Mermaid pada tahun 1836. Kisah ini kemudian difilmkan oleh Walt Disney pada tahun 1989. Beberapa film yang juga mengisahkan tentang duyung, yang di antaranya adalah film Peter Pan, Harry Potter 4: The Goblet of Fire, serta film Mermaid.
Dengan banyaknya mitos atau legenda ikan di Eropa, apakah ikan ini selalu nampak Eropa? Ternyata tidak juga. Malah, ikan ini tak pernah nampak di pesisir Eropa. Kalaupun banyak dongeng tentang duyung di Eropa, boleh jadi karena warga Eropa  tak bisa memverifikasi seberapa benar mitos tentang ikan berkepala wanita cantik ini. Sementara di Indonesia, duyung adalah fenomena yang umum dan sering disaksikan.
Saat mengamati peta penyebaran ikan yang pertama kali dicatat oleh Muller pada tahun 1776 ini, wilayah yang paling sering disinggahi ikan ini adalah Indonesia, khususnya kawasan timur. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa duyung adalah hewan laut yang menjadi ikon Indonesia. Ia sama halnya dengan komodo yang hanya bisa ditemukan di negeri ini.
Duyung Pulau Buton
Seorang sahabat peneliti menuturkan bahwa di antara berbagai pulau yang sering dilalui duyung, Pulau Buton adalah pulau yang paling sering disinggahi. Beberapa peneliti pernah memperlihatkan data bahwa mamalia ini akan melintasi Desa Lasalimu di Buton pada setiap bulan Februari dan bulan Juli setiap tahunnya. Saya berkesimpulan bahwa duyung yang saya saksikan di Ancol adalah duyung yang ditangkap pada bulan-bulan tersebut.
Pada saat-saat itu, para nelayan kerap menyaksikan ikan duyung yang secara bergerombol melintasi kawasan tersebut. Sayangnya, pemerintah belum mengemasnya menjadi atraksi wisata sebagaimana pemerintah Bali mengemas wisata lumba-lumba di Pantai Lovina, Bali.

                                                   peta habitat ikan duyung

                                                 ikan duyung di Sea World, Ancol, Jakarta
Saya sendiri belum pernah melihat langsung ikan ini, Tapi sahabat saya Kudrat Priadi beberapa kali melhat ikan ini di Desa Lasalimu. Malah, Kudrat memperlihatkan fotonya saat menggendong anak ikan duyung. Ikan ini termasuk jenis ikan langka yang sukar ditemukan. Kudrat menuturkan bahwa dirinya pernah bertemu ikan ini di Desa Lasalimu yang berjarak sekitar beberapa jam dari Baubau, kota paling besar di Buton. Ikan ini terperangkap pada jaring seorang nelayan. Saat itu, sang nelayan lalu menampung air mata ikan dan ditampung di sebuah botol, dan setelah itu, ikan itu dilepaskan ke laut lepas.
Mengapa dilepaskan? Sebab masyarakat memiliki kepercayaan lokal bahwa ikan itu memiliki kekerabatan dengan manusia. Mereka meyakini bahwa di masa silam, ikan itu adalah seorang ibu yang kemudian menjelma sebagai ikan karena disiksa olh suaminya, dan di saat bersamaan, sang ibu tak sanggup memenuhi permintaan anaknya yang masih kecil. Perempuan yang menjelma sebagai duyung itu bernama Wa Ndiu-Ndiu. Sedangkan nama lokal ikan ini di Buton adalah Ndiu.
Legenda ini hampir sama dengan versi yang ada pada masyarakat Bajo, yang banyak tersebar di Pulau Buton. Orang Bajo meyakini bahwa duyung adalah nenek moyangnya. Mereka menyebut duyung sebagai dio. Sebagaimana juga dicatat oleh antropolog asal Perancis, Francois Robert Zacot, orang Bajo menganggap duyung seperti manusia, sebab memiliki kaki, tangan, jari dan buah dada. Pada buku berjudul Peuple nomade de la ler: Les Badjos d’Indonesie yang terbit tahun 2002, Zacot mengatakan bahwa duyung juga menyusui anaknya, sebagaimana manusia. Ketika seorang anak duyung ditangkap, ibu duyung akan menungguinya dan bersedih.
Legenda tentang duyung ini diketahui oleh generasi muda di banyak pesisir lautan. Di Buton, legenda ini telah dikemas menjadi lagu daerah yang sangat populer. Dugaan saya, legenda ini hadir sebagai pesan simbolis kepada seorang suami untuk tidak menghardik istrinya. Legenda juga membentuk karakter seorang anak agar menyayangi seorang ibu sehingga tidak meminta hal-hal yang tidak sanggup dipenuhi seorang ibu.
Masyarakat juga menganggap ikan ini memiliki kekuatan mistik. Sahabat saya seorang nelayan bernama La Dambo menuturkan bahwa siapapun yang bertatapan dengan ikan ini, maka diyakini akan mendapatkan rezeki bsar di masa depan. Ia juga mengatakan bahwa air mata duyung yang bisa menjadi obat. Beberapa nelayan, menyimpannya sebagai jimat. Bagaimana cara mengeluarkan air matanya? “Kita pura-pura mengancam duyung itu dengan parang. Biasanya, duyung akan menangis. Saat itulah kita tampung air matanya dengan sapu tangan, kemudian diperasdan dimasukkan ke botol kecil,” kata La Dambo.

                                                          sebuah pantai di Pulau Buton
Kepercayaan tentang aspek mistik, serta manfaat lain dari duyung, membuat orang memburu binatang ini. Banyak yang mengincar air mata, daging, serta minyaknya untuk diolah menjadi kosmetik atau alat kecantikan. Pantas saja jika populasi duyung semakin lama semakin berkurang.
Akan tetapi, masyarakat Buton dan Bajo tak berhasrat untuk memakan duyung. Mereka masih menjunjungtinggi kepercayaan bahwa duyung dan manusia bersaudara. Makanya, mereka nyaris tidak pernah memakan ikan duyung. Sebagaimana halnya mamalia laut lainnya seperti lumba-lumba atau paus, para nelayan Buton selalu melepaskannya.  Namun, sebagaimana dicatat Zacot (2012), ada saja nelayan yang mencari Ndiu atau Dio untuk dimakan. Mengapa demikian? Kata peneliti asal Perancis ini, tak semua orang menetahui legenda tentang duyung yang bersaudara dengan manusia.
Entah, apakah ada kaitannya dengan legenda, yang pasti duyung masih selalu terlihat di pesisir Buton. Boleh jadi, ikan ini merasa aman sebab dilindungi dan dianggap saudara oleh nelayan setempat. Ternyata, selalu ada sisi positif dari kearifan tradisional masyarakat. Dengan legenda, mitos, serta pamali, masyarakat lokal memelihara keragaman ekologis, dan menyelamatkan laut dan seisinya. Lewat kearifan itu, mereka memperlakukan alam sebagai saudara yang harus dikasihi dan dilindungi sebagaimana manusia lainnya.
Baubau, 6 Juli 2013
Read more

0 Sejarah Buton (Benteng Keraton)


Berhubung saat ini saya lagi dapat tempat tugas di Kota Baubau yang terletak di Pulau Buton maka tidak ada salahnya juga saya berbagi cerita mengenai salah satu situs sejarah yang masih berdiri kokoh dan menjadi tempat tujuan wisata yang menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Situs sejarah yang saya maksud yakni Benteng Keraton Buton yang terletak di atas bukit dan berdiri sejak abad 16.
Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat.Mulai dibangun sejak pemerintahan La Sangaji ke-3 (1591-1597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir pemerintahan Sultan ke-6, La Buke Gafarul Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda. Lokasi Benteng Keraton berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Baubau. Benteng yang terbuat dari batu gunung dan direkatkan menggunakan pasir dan kapur ini terkenal sebagai benteng terluas di dunia menurut Museum Rekor Indonesia dengan luas 22,8 Ha dan panjang 2.740 meter. Tinggi benteng 1-8 meter dengan ketebalan dinding 50 cm hingga 2 meter. Memiliki 16 kubu pertahanan, 12 pintu, dilengkapi 100 meriam yang diletakkan di setiap pintu dan sudut benteng.

                                                Salah satu sudut Benteng Keraton Butno
Saking besar dan megahnya, bangunan ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Seribu Benteng. Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya. Benteng kecil ini menjadi pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap benteng dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia. Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan, karena tempatnya selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk dikuasai musuh. Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana berdasarkan letaknya yang stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah lembah. Selain itu ada pula daerah yang dijadikan sebagai fungsi penghancuran bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat benteng, dikenal dengan nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh.

                                      Meriam yang berada di salah satu Benteng Keraton Buton
Di dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian raja/sultan), malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera). Situs sejarah batu popau yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat vital wanita. Di atas batu inilah setiap sultan yang terpilih dilantik dan diambil sumpahnya.

                                         Batu Popaua tempat pelantikan Raja/Sultan Buton
Sulana Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultananan Buton. Tiang bendera dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan keempat Dayanu Iksanuddin dan Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna yi Watole. Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih terpancang dan pernah mengibarkan banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih.

                                         Tiang Bendera yang terletak di dekat Masjid Keraton Buton
Di dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang terbuat dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain dari gigi-gigi buatan sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya. Dengan demikian maka rumah ini bisa dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita dapat membeli rumah di satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah yang dibeli akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa mengangkut atau memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu dibongkar. Istimewanya lagi bahwa malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap raja membangun rumah sendiri.

                                                          Rumah Adat Kerajaan Buton
Masigi Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton)dibangun dua abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500 orang.Masigi Keraton dibangun berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap komponen bangunannya sarat dengan simbol yang kaya akan makna. Menurut Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid menggunakan 313 potongan kayu, sama banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta dilengkapi 12 pintu dan jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti lubang hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.

                                                                Masjid Keraton Buton
Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik karena dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus jenazah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna. Para pengurus masjid, sebelum menjalankan tugas terlebih dahulu dilantik dengan penyerahan tongkat sebagai surat keputusannya. Khatib mempunyai tanggung jawab menjaga ketertiban lingkungan keraton, termasuk menjaga wabah penyakit. Bila dalam sepekan setelah khutbah di masigi ternyata terjadi bencana maka sang khatib pun akan dicopot dari jabatannya.
Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang salat Jumat. Petugas pemukul bedug disebut tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain tenun khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.

                                                  Anggota dewan masjid pulang sholat jumat
Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang salat, para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin salat. Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan salat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum salat dimulai. Ritual sebelum salat dimulai terlihat rumit, namun semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang dicoba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.
So, Inilah salah satu warisan budaya atau peninggalan sejarah yang masih bisa kita lihat wujudnya secara utuh di Pulau Buton ini. Saya salut dengan pemerintah setempat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dan melestarikan warisan budaya khususnya di Benteng Keraton Buton. #salam
Sumber cerita : Hamzah Palalloi dan M.Jufri Rahim
Sumber gambar : Forum National Geographic Indonesia

Read more