SEJARAH ADONARA :
Sejarah lokal Adonara terdokumentasikan dari abad keenam belas, ketika para pedagang dan misionaris Portugis mendirikan pos di dekat Pulau Solor. Pada saat itu Pulau Adonara dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi di antara penduduk pesisir yang dikenal sebagai Paji, dan penduduk pegunungan yang disebut Demon. Para Paji mudah menerima Islam, sementara Demon cenderung di bawah pengaruh Portugis. Wilayah Adonara milik Paji mencakup tiga kerajaan, yaitu Adonara (berpusat di pantai utara pulau), Terong dan Lamahala (di pantai selatan). Bersama dengan dua kerajaan di Pulau Solor, Lohayong dan Lamakera, mereka membentuk sebuah persekutuan yang disebut Watan Lema ("lima pantai"). Watan Lema bekerja sama dengan VOC pada 1613 dan ditegaskan pada 1646. Kerajaan Adonara sendiri sering permusuhan dengan Portugis di Larantuka, Flores, dan tidak selalu taat kepada Belanda.
Pada abad kesembilan belas, penguasa Adonara di utara memperkuat posisinya di Kepulauan Solor; saat itu, ia juga menjadi penguasa bagian timur Flores dan Lembata. Wilayah Demon berdiri di bawah kekuasaan kerajaan Larantuka, yang berada di bawah kekuasaan Portugis sampai tahun 1859, ketika wilayah tersebut diserahkan pada Belanda. Kerajaan Larantuka dan Adonara dihapuskan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1962.
Menurut sejarah lokal, keturunan dari raja-raja Adonara ini adalah termasuk:
ISLAM DI NTT BERMULA DI PULAU SOLOR
Umat Muslim merupakan minoritas di NTT (Nusa Tenggara Timur) yang mayoritas penduduknya penganut Kristen (Katolik dan Protestan). Namun sejarah keberadaan umat Muslim di kawasan itu telah berusia tua.
Islam pertama kali masuk wilayah NTT pada abad ke 15 di di Pulau Solor yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Flores Timur. Seperti juga di daerah di Nusantara, Islam masuk daerah itu dibawa para pedagang.
Munandjar Widiyatmika (peneliti dan penulis buku sejarah Islam di NTT) mengatakan, penyebaran agama Islam pertama dilakukan seorang ulama pedagang dari Pelembang yang bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. “Dari sumber-sumber sejarah yang berhasil saya himpun, agama Islam masuk pertama kali di pulau Solor di Menanga pada abat ke-15 kemudian ke Ende dan Alor,” katanya dalam suatu wawancara terkait masuknya agama Islam pertama di NTT seperti dikutip tebuireng.org. Dalam perkembanganya kemudian, orang Islam juga datang ke NTT dari Sulawesi dan Bima (Sumbawa).
Menurut Munandjar, Solor menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam di NTT karena letaknya strategis serta punya bandar-bandar penting di Pamakayo, Lohayong, Menanga dan Labala. Bandar-bandar itu sangat penting bagi kapal yang menunggu angin untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Timor dan Maluku.
“Masuknya agama Islam ini dibawa oleh pedagang sehingga sangat wajar kalau penyebarannya dilakukan mulai di sekitar bandar-bandar startegis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam dari luar, dan Solor adalah daerah peristirahatan sebelum ke pusat penghasil cendana di Pulau Timor,” katanya.
Pada masa itu, Portugis juga membangun benteng di Pulau Solor karena Solor merupakan daerah yang paling tepat untuk berisiraharat sambil menunggu angin baik untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Timor.
Munandjar mengungkapkan, pola pendekatan yang dipakai perintis penyebar agama Islam asal Palembang itu adalah pendekatan kekeluargaan dan memegang tokoh-tokoh kunci daerah setempat. Di Solor misalnya, Syahbudin kawin dengan seorang puteri raja Sangaji Dasi. Raja itu menjadi orang pertama yang memeluk agama Islam di NTT dan kemudian diikuti anggota keluarganya.
Berkat pengaruh Sangaji Dasi, keluarga dan pengikutnya dengan mudah diajak menjadi pemeluk agama Islam, kata Munandjar yang adalah sosilog dan mantan pengajar di Universitas Nusa Cendana Kupang itu.
Demi kepentingan pengembangan agama Islam di Solor, Sultan Menanga kemudian ditempatkan di perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong dan berhasil membangun kampung muslim pertama di Menanga. Di situ, Islam kemudian tersebar ke daerah lain seperti Alor, dan seluruh Flores, Timor dan Sumba.
Sejarah lokal Adonara terdokumentasikan dari abad keenam belas, ketika para pedagang dan misionaris Portugis mendirikan pos di dekat Pulau Solor. Pada saat itu Pulau Adonara dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi di antara penduduk pesisir yang dikenal sebagai Paji, dan penduduk pegunungan yang disebut Demon. Para Paji mudah menerima Islam, sementara Demon cenderung di bawah pengaruh Portugis. Wilayah Adonara milik Paji mencakup tiga kerajaan, yaitu Adonara (berpusat di pantai utara pulau), Terong dan Lamahala (di pantai selatan). Bersama dengan dua kerajaan di Pulau Solor, Lohayong dan Lamakera, mereka membentuk sebuah persekutuan yang disebut Watan Lema ("lima pantai"). Watan Lema bekerja sama dengan VOC pada 1613 dan ditegaskan pada 1646. Kerajaan Adonara sendiri sering permusuhan dengan Portugis di Larantuka, Flores, dan tidak selalu taat kepada Belanda.
Pada abad kesembilan belas, penguasa Adonara di utara memperkuat posisinya di Kepulauan Solor; saat itu, ia juga menjadi penguasa bagian timur Flores dan Lembata. Wilayah Demon berdiri di bawah kekuasaan kerajaan Larantuka, yang berada di bawah kekuasaan Portugis sampai tahun 1859, ketika wilayah tersebut diserahkan pada Belanda. Kerajaan Larantuka dan Adonara dihapuskan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1962.
Menurut sejarah lokal, keturunan dari raja-raja Adonara ini adalah termasuk:
- Foramma, sekitar 1650
- Balawamma, 1675
- Buli I, 1681-1682 (or 1691)
- Eko ... -1688, +(dibunuh oleh orang dari pegunungan) 1688. Saudara dari:
- Gogok 1702
- Wuring sebelum 1710-1719. (Putra dari Buli I dan ayah dari Buli II)
- Buli II 1719-setelah 1756
- Lakabella Jo 1832
- Begu ....-dibunuh pada 28 Juli 1850. Ayah dari:
- Pela(ng) 1850-1857. Saudara dari:
- (Lakabella?) Jo 1857-1868. Saudara dari:
- Kamba Begu 1868-1893. Ayah dari:
- Bapa Tuan, Raja sementara pada tahun 1893 selama 6 bulan. Saudara dari:
- Arkiang Kamba (Arakang) 1893(atau 1894?)- 18 Desember 1930, °c1866
- Gela (mengambil alih kekuasaan ayahnya Bapa Tuan)
- Bapa Ama (Bupati dengan gelar Kapitan 1930-1 Desember 1935, ditahan seumur hidup sebelum 24 April 1936 dan dikirim ke Kupang. Putera dari saudara perempuan Kamba Begu)
- Raja Nuhung Bapa, 1915, setelah 1950. Putera dari Gela
- Bapa Nuhur, Bupati 1936/41-1940-an selama pemerintahan Raja Nuhung Bapa
- Raja Bapa Gela, 1905, +.....
- Bapa Kaya, Bupati 1940-an - 12 Januari 1954 selama pemerintahan Raja Bapa Gela
- Mohamad Eke (tidak mengambil gelar Raja 1954-19...., diangkat sebagai asisten selama pemerintahan Bapa Kaya dan juga sebagai Kapitan Adonara, °1929, 1985. cicit dari Raja Jo)
ISLAM DI NTT BERMULA DI PULAU SOLOR
Umat Muslim merupakan minoritas di NTT (Nusa Tenggara Timur) yang mayoritas penduduknya penganut Kristen (Katolik dan Protestan). Namun sejarah keberadaan umat Muslim di kawasan itu telah berusia tua.
Islam pertama kali masuk wilayah NTT pada abad ke 15 di di Pulau Solor yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Flores Timur. Seperti juga di daerah di Nusantara, Islam masuk daerah itu dibawa para pedagang.
Munandjar Widiyatmika (peneliti dan penulis buku sejarah Islam di NTT) mengatakan, penyebaran agama Islam pertama dilakukan seorang ulama pedagang dari Pelembang yang bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Menanga. “Dari sumber-sumber sejarah yang berhasil saya himpun, agama Islam masuk pertama kali di pulau Solor di Menanga pada abat ke-15 kemudian ke Ende dan Alor,” katanya dalam suatu wawancara terkait masuknya agama Islam pertama di NTT seperti dikutip tebuireng.org. Dalam perkembanganya kemudian, orang Islam juga datang ke NTT dari Sulawesi dan Bima (Sumbawa).
Menurut Munandjar, Solor menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam di NTT karena letaknya strategis serta punya bandar-bandar penting di Pamakayo, Lohayong, Menanga dan Labala. Bandar-bandar itu sangat penting bagi kapal yang menunggu angin untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Timor dan Maluku.
“Masuknya agama Islam ini dibawa oleh pedagang sehingga sangat wajar kalau penyebarannya dilakukan mulai di sekitar bandar-bandar startegis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam dari luar, dan Solor adalah daerah peristirahatan sebelum ke pusat penghasil cendana di Pulau Timor,” katanya.
Pada masa itu, Portugis juga membangun benteng di Pulau Solor karena Solor merupakan daerah yang paling tepat untuk berisiraharat sambil menunggu angin baik untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Timor.
Munandjar mengungkapkan, pola pendekatan yang dipakai perintis penyebar agama Islam asal Palembang itu adalah pendekatan kekeluargaan dan memegang tokoh-tokoh kunci daerah setempat. Di Solor misalnya, Syahbudin kawin dengan seorang puteri raja Sangaji Dasi. Raja itu menjadi orang pertama yang memeluk agama Islam di NTT dan kemudian diikuti anggota keluarganya.
Berkat pengaruh Sangaji Dasi, keluarga dan pengikutnya dengan mudah diajak menjadi pemeluk agama Islam, kata Munandjar yang adalah sosilog dan mantan pengajar di Universitas Nusa Cendana Kupang itu.
Demi kepentingan pengembangan agama Islam di Solor, Sultan Menanga kemudian ditempatkan di perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong dan berhasil membangun kampung muslim pertama di Menanga. Di situ, Islam kemudian tersebar ke daerah lain seperti Alor, dan seluruh Flores, Timor dan Sumba.
0 komentar:
Posting Komentar