Pencarian Blog

< Laskar Satoetoejoeh K-Link Larantuka>

SEJARAH KERAJAAN LARANTUKA

Sabtu, 22 Maret 2014


KERAJAAN LARANTUKA


Kerajaan Larantuka termasuk kerajaan yang tua, berusia sekira 700 tahun. Sistem pemerintahan mulai dikenal masyarakat Larantuka sejak abad ke-13. Sistem pemerintahan ini terdiri atas Raja, Pou Suku Lema dan Kakang Lewo Pulo. Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi adat dan pemerintahan. Pou Suku Lema yang berarti “Empu yang Lima” merupakan dewan mahkota yang memegang peranan sebagai penasehat Raja sekaligus menjalankan tugas-tugas legislatif. Kakang merupakan raja-raja kecil, memerintahkan kekakangan masing-masing yang bersifat otonom. Ini diperkuat catatan sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Saat itu Larantuka merupakan salah satu kerajaan yang berhasil ditaklukkan serdadu Majapahit yang dipimpin Patih Gajah Mada pada abad ke-14.

Sebelum ditaklukkan Majapahit, wilayah Larantuka dihuni suku asli Flores Timur yang dikenal sebagai suku Ile Jadi. Suku asli ini kemudian membaur dengan pendatang. Warga pendatang ini berasal dari berbagai tempat. Ada pendatang dari suku lain di sekitar wilayahnya yang terdampar karena perahu (tena) mereka terombang-ambing gelombang laut saat berlayar. Suku Keroko Puken merupakan salah satu suku tetangga yang bermigrasi ke Larantuka. Mereka berasal dari Pulau Lepan Batang di sekitar kawasan perairan laut Flores Timur yang telah tenggelam ke bawah permukaan air laut.

Ada pula suku pendatang dari Jawa beragama Hindu yang oleh masyarakat lokal disebut sebagai warga Sina Jawa. Mereka mulai masuk ke Larantuka pada masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa pada abad ke-12.

Pendatang dari Bugis dan Makassar menyusul tiba di Larantuka pada abad ke-16. Suku Ambon kemudian menginjakkan kaki pula di wilayah ini pada abad ke-17. Petualang dan misionaris Portugis ikut menambah daftar jumlah pendatang. Mereka disertai imigran besar-besaran penduduk Melayu Kristen yang mengungsi ke Flores Timur saat kekuasaan Portugis di Malaka ditaklukkan Belanda tahun 1614.

Menurut tokoh Katolik Flores Timur, Drs. Bernardus Tukan, ada versi lain mengenai asal-usul Kerajaan Larantuka. Versi ini masih hidup dalam tradisi lisan rakyat Larantuka hingga sekarang. Kerajaan Larantuka dipercayai sebagai sebuah dinasti kekuasaan yang didirikan seorang pendatang dari Jawa bernama Pati Golo Arakiang. Sosok pendiri kerajaan ini disebut-sebut masih ada hubungannya dengan Majapahit. Ini khususnya dikaitkan dengan kata “pati” yang berasal dari “patih” dan “arkyan” yang berarti rakyat dalam bahasa kawi. Figur Pati Golo Arakiang disimbolkan sejajar dengan kedudukan seorang patih di Majapahit.

Pati Golo Arakiang didaulat suku Ile Jadi untuk mendirikan Kerajaan Larantuka. Ini berawal dari perkawinan Pati Golo Arakiang dengan Wato Wele Oa Dona. “Dari sini muncul keturunan baru suku asli Flores Timur. Ada tiga anak yang lahir dari perkawinan tersebut, yaitu Kudi Lelen Bala, Padu Ile, dan Lahalapan,” Tiga putra raja ini melahirkan generasi komunitas warga baru. Putra sulung raja, Kudi Lelen Bala, mewariskan keturunan yang kini dikenal sebagai orang Waibalun. Putra kedua, Padu Ile, menurunkan para raja Larantuka. Sementara putra bungsu raja, Lahalapan, melahirkan keturunan yang sekarang termasuk dalam komunitas Balela.

“Namun, Sira Demong Pagong Molang justru dianggap sebagai Raja Larantuka pertama. Sebab, raja inilah yang dinilai sebagai peletak dasar tata kelola pemerintahan kerajaan,” katanya.

Semula pusat pemerintahan bukan di Larantuka, tetapi di sebuah wilayah daratan bernama Lokea. Ada 10 wilayah kerajaan atau kekakangan (kakang schap) yang masing-masing dipimpin seorang kakang. Pendatang dari Jawa diberi lokasi pemukiman di daerah Lebao, dan suku pendatang Kroko Puken di Lewore dan Lohayong.

Komunitas Islam (kaum Paji) menghuni wilayah pesisir di sepanjang wilayah pantai (watan). Wilayahnya dikenal ada di Lembata, Adonara, Solor, dan Tanjung Bunga. Raja (kakang) Adonara menjadi pimpinan komunitas Islam ini.

“Pusat pemerintahan Kerajaan Larantuka kemudian pindah dari Lokea ke Larantuka,”

Perkembangan Agama Katolik di Pulau Solor dan Larantuka

Merunut catatan sejarah, pedagang Portugis mulai tinggal di Solor, sebuah pulau kecil lima killometer sebelum Larantuka, sejak 1520. Para pedagang rempah berkebangsaan Portugis tsb. tinggal di rumah-rumah sederhana. Oleh karena agamanya, mereka berdoa secara Katolik di sana. Baru pada 1561 empat pater Ordo Dominikan dikirim dari Malaka ke Solor.

Empat pater itu menetap di Solor, melayani pedagang-pedagang Portugis, dan mewartakan Injil ke penduduk lokal. Kehadiran orang asing yang menyebarkan agama baru tidak diterima begitu saja sehingga terjadi sejumlah perlawanan berdarah. Untuk melindungi diri dari serangan penduduk lokal, pada 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun benteng di Lohayong (sekarang Kecamatan Solor Timur).

Terlepas adanya perlawanan pada awal misi, penyebaran agama Katolik di Kepulauan Solor (sekarang Kabupaten Flores Timur) terbilang sukses. Berdasarkan catatan Mark Schellekens dan Greg Wyncoll, penulis dan fotografer yang telah melakukan penelitian di Solor, di dalam banteng itu dibangun asrama, gereja, dan bahkan seminari. Pada tahun 1600 tercatat ada 50 siswa (seminaris) yang belajar menjadi rohaniwan Katolik. Bisa dipastikan inilah seminari Katolik pertama di Indonesia. Pada tahun yang sama, para misionaris perintis ini telah berhasil mendirikan 18 gereja di Solor dan sekitarnya.

Namun, kekuasaan Portugis tidak bertahan lama. Pada 27 Januari 1613 sebuah armada Belanda datang ke Solor. Kapten Manuel Alvares mengerahkan 30 orang Portugis serta seribu penduduk lokal untuk mempertahankan benteng di Lohayong. Portugis kalah setelah berperang selama tiga bulan. Pada 18 April 1613 benteng itu jatuh ke tangan Belanda yang lantas mengganti nama benteng menjadi Benteng Henricus. Pada tahun 1615 Belanda meninggalkan Lohayong, tetapi datang lagi tiga tahun kemudian. Entah kenapa, Belanda melepaskan benteng pada tahun 1630. Orang Portugis pun menempati kembali benteng tsb. hingga tahun 1646 ketika mereka diusir lagi oleh Belanda.

Bagsa Portugis ternyata selalu kalah dari Belanda meski jumlah pasukannya lebih banyak. Tentu saja, perang terus-menerus antara sesama penjajah ini membuat kekatolikan yang masih sangat muda tidak berkembang. Melihat suasana yang tidak kondusif tersebut, pater-pater Dominikan memindahkan markasnya ke Larantuka.

Selanjutnya, Larantuka yang berada di pinggir laut itu menjadi pusat misi Katolik di Nusa Tenggara Timur, kemudian Timor Timur, bahkan Indonesia. Misi di Larantuka lebih sukses karena ada traktat antara Belanda dan Portugis untuk membiarkan para pater Dominikan menyebarkan agama Katolik di Flores dan sekitarnya

Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.

Meski kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara– sangat diwarnai unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.

Warisan Tradisi Bangsa Portugis

Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru. Kala itu, orang Portugis membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut cerita rakyat merupakan penemu patung Mater Dolorosa yang terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama. Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi bernama Conferia, yang mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.

Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari. Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.

Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.

Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peran para Raja Larantuka, para misionaris, perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan semua Suku Semana, serta para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).

Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar “Semana Santa” dan Prosesi Jumad Agung atau “Sesta Vera”. Kedua ritual ini dikenal sebagai “Anak Sejarah Nagi” juga sebagai “Gembala Tradisi” di tanah Nagi-Larantuka. Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih, dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya. Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis dan Latin.

Silsilah Raja-Raja Larantuka
1. Putri Ile Jadi (Putri Watowele yang kawin dengan Raja Pati Golo Arkyan)
2. Raja Padu Ile
3. Raja Sira Demong Pagamolang
4. Raja Mau Boli
5. Raja Sira Paing
6. Raja Sira Lanang
7. Raja Sira Napang
8. Raja Igo
9. Raja Adu Wuring
10. Raja Ado Bala
11. Raja Ola Ado Bala (tahun 1665 dipermandikan menjadi Katolik dengan nama Don Fransisco Diaz Viera de Godinho/DVG)
12. Don Gaspar I DVG (Nama asli: Raja Patih Goloh)
13. Don Manuel DVG (Nama asli: Raja Kuaka Douwo Ama. Karena masih kecil maka diwakili oleh Don Constantino Blanterang de Rosari / Raja Kone)
14. Don Andre I DVG (nama asli: Raja Pandai I)
15. Don Lorenzo I DVG
16. Don Andre II DVG
17. Don Gaspar II
18. Don Dominggo DVG (Raja Ence. Memerintah tahun 1877-1887)
19. Don Lorenzo II DVG (Raja Usi Neno. Memerintah tahun 1887-1904. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Yogyakarta. Meninggal tahun 1910 di Yogya)
20. Wakil Raja Luis Blanterang de Rosari (1905-1906)
21. Triumvirat yang terdiri dari Payong Blanterang de Rosari, Emanuel Monteiro, dan Yohanes Blanterang de Rosari (1906-1912)
22. Wakil Raja Antonius Blanterang de Rosari (1919-1937)
23. Don Lorenzo III DVG (Raja Nua Usi. Memerintah tahun 1937-1962 dan merupakan raja terakhir Kerajaan Larantuka)



SEJARAH KERAAJAAN LARANTUKA

 PERNIKAHAN PUTRA RAJA

 BUNDA MARIA YG DINOBATKAN SBG RATU KERAJAAN LARANTUKA OLEH RAJA DON LORENZO VSINENO 2 DVG DAN MENYERAHKAN TONGKAT KERAJAAN PD PATUNG BUNDA MARIA(8 SEPT.1886)



 ISTRI KE 3 RAJA,DONA MARTINA KANENA XIMENES DASILVA YG KINI BERUSIA 90THN

 KELUARGA ISTANA

 ISTANA LARANTUKA NAMPAK DR DALAM

 TIM KESEBELASAN PERSEFTIM YG TAK LUPA MEMINTA BERKAT  PADA LEWOTANA,SAAT  MAU BERTANDING DI ELTARI CUP

 MERIAM PENINGGALAN BERSEJARAH TEPAT DI DEPAN ISTANA

 FOTO KELUARGA KERAJAAN



LARANTUKA adalah sebuah kerajaan turunan langsung dari "Pati Golo Ara Kian" dan Isterinya "Wato Wele Ata Utan". Pasangan purba ini diyakini sebagai manusia yang terlahir dari rahim gunung "Mandiri". Tercatat dalam sejarah, pada abad XI-XIII, antara Kerajaan Larantuka dan Kerajaan Majapahit telah terjadi kontak dagang yang sekaligus membawa pengaruh Hindu yang berkembang di Larantuka dan sekitarnya. Sedangkan pengaruh Islam terdapat di Lamahala, Terong, Adonara, dan sekitarnya. Kerajaan Larantuka adalah sebuah Kerajaan Tua, yang menurut taksiran telah berusia sekitar 700 tahun. Gelombang perpindahan suku-suku, baik yang berasal dari Barat maupun Timur dalam perkembangannya kemudian berbaur dalam proses perkawinan dan asimilasi kebudayaan. Dan akhirmya menjelma dalam ke dalam suatu ikatan sosial yang lebih besar meliputi seluruh wilayah Kepulauan Solor, dikenal dengan sebutan suku "Lamaholot", dan bahasa yang digunakan adalah bahasa "Lamaholot" dan juga adat istiadat "Lamaholot". Dalam sejarah Kerajaan Larantuka, hanya dapat satu dinasti yang memerintah sebagai Raja, yang kemudian menggunakan nama barat, Diaz Viera de Godinho (DVG).



 RITUS :
Upacara ritual pengorbanan hewan memiliki posisi yang cukup penting dan mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada bermacam lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang ataupun damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.

LEGENDA :
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung Ile Mandiri.[10] Wanita tersebut disebut sebagai Tuan Ma yang tidak lain adalah Bunda Maria.[11] Karena terdapat sebuah arca (patung) Tuan Ma yang diyakini sebagai penjelmaan langsung dari Bunda Maria.[11] Menurut cerita legenda Resiona (seorang penduduk asli Larantuka) adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih yang terdampar di bibir Pantai Larantuka.[11] Konon, tujuan orang Portugis membawa Resiona ke Malaka adalah untuk belajar agama Katolik.[11]

3 komentar:

  • kalau bisa sejarah flores timur atau larantuka lebih detail lagi,agar generasinya bisa lebih tau sejarahnya

  • kalau bisa sejarah flores timur atau larantuka lebih detail lagi,agar generasinya bisa lebih tau sejarahnya

  • Sebentar lagi kami akan menerbitkan buku "Kampung Tua Larantuka, Kerajaan Ile Jadi" kami butuh dukungan kalian sebagai generasi penerus. Terimakasih

  • Posting Komentar