Berhubung
saat ini saya lagi dapat tempat tugas di Kota Baubau yang terletak di Pulau
Buton maka tidak ada salahnya juga saya berbagi cerita mengenai salah satu
situs sejarah yang masih berdiri kokoh dan menjadi tempat tujuan wisata yang
menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Situs sejarah yang saya
maksud yakni Benteng Keraton Buton yang terletak di atas bukit dan berdiri
sejak abad 16.
Benteng
Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun
mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara
komplek istana dengan perkampungan masyarakat.Mulai dibangun sejak pemerintahan
La Sangaji ke-3 (1591-1597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir
pemerintahan Sultan ke-6, La Buke Gafarul Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng
ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh tahun, melampaui tiga masa
sultan yang berbeda. Lokasi Benteng Keraton berjarak sekitar 3 kilometer dari
pusat Kota Baubau. Benteng yang terbuat dari batu gunung dan direkatkan
menggunakan pasir dan kapur ini terkenal sebagai benteng terluas di dunia
menurut Museum Rekor Indonesia dengan luas 22,8 Ha dan panjang 2.740 meter.
Tinggi benteng 1-8 meter dengan ketebalan dinding 50 cm hingga 2 meter.
Memiliki 16 kubu pertahanan, 12 pintu, dilengkapi 100 meriam yang diletakkan di
setiap pintu dan sudut benteng.
Salah satu sudut Benteng Keraton
Butno
Saking
besar dan megahnya, bangunan ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Seribu
Benteng. Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya.
Benteng kecil ini menjadi pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng
Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap benteng dihubungkan oleh jalan-jalan
rahasia. Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan, karena tempatnya
selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai
tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk
dikuasai musuh. Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana
berdasarkan letaknya yang stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah
lembah. Selain itu ada pula daerah yang dijadikan sebagai fungsi penghancuran
bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat benteng, dikenal dengan
nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh.
Meriam yang berada di salah satu
Benteng Keraton Buton
Di
dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian
raja/sultan), malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera).
Situs sejarah batu popau yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat
vital wanita. Di atas batu inilah setiap sultan yang terpilih dilantik dan
diambil sumpahnya.
Batu Popaua tempat pelantikan
Raja/Sultan Buton
Sulana
Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang
sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji
Kesultananan Buton. Tiang bendera dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun
tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan keempat Dayanu Iksanuddin dan
Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna yi Watole.
Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang
dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih terpancang dan pernah
mengibarkan banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan
Sang Saka Merah Putih.
Tiang Bendera yang terletak di dekat
Masjid Keraton Buton
Di
dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang
terbuat dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain
dari gigi-gigi buatan sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya.
Dengan demikian maka rumah ini bisa dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton
kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita dapat membeli rumah di
satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah yang dibeli
akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu
didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa
mengangkut atau memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu
dibongkar. Istimewanya lagi bahwa malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap
raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap raja membangun rumah sendiri.
Rumah Adat Kerajaan Buton
Masigi
Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton)dibangun dua
abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan
Sultan Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini
masih berfungsi sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500
orang.Masigi Keraton dibangun berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap
komponen bangunannya sarat dengan simbol yang kaya akan makna. Menurut Walikota
Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid menggunakan 313 potongan kayu, sama
banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta dilengkapi 12 pintu dan
jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti lubang
hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.
Masjid Keraton Buton
Di
era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik karena
dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut
wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak
boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut
kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui
musyawarah bersama.Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi
masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus
jenazah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat,
karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta
kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas
juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu.
Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan
upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban
kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna. Para pengurus
masjid, sebelum menjalankan tugas terlebih dahulu dilantik dengan penyerahan
tongkat sebagai surat keputusannya. Khatib mempunyai tanggung jawab menjaga
ketertiban lingkungan keraton, termasuk menjaga wabah penyakit. Bila dalam
sepekan setelah khutbah di masigi ternyata terjadi bencana maka sang khatib pun
akan dicopot dari jabatannya.
Hari
Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug
akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas,
yakni menjelang salat Jumat. Petugas pemukul bedug disebut tungguna ganda,
tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah
ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain tenun khas Buton. Berbeda dengan
lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental
yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.
Anggota dewan masjid pulang sholat
jumat
Ada
banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang salat,
para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di
tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus
untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari
keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin salat. Jamaah mulai
berdatangan. Imam melakukan salat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di
sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang bertugas
mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum salat
dimulai. Ritual sebelum salat dimulai terlihat rumit, namun semua yang dilakukan
merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang
dicoba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.
So,
Inilah salah satu warisan budaya atau peninggalan sejarah yang masih bisa kita
lihat wujudnya secara utuh di Pulau Buton ini. Saya salut dengan pemerintah
setempat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dan melestarikan
warisan budaya khususnya di Benteng Keraton Buton. #salam
Sumber cerita : Hamzah Palalloi dan
M.Jufri Rahim
Sumber gambar : Forum National Geographic Indonesia
Sumber gambar : Forum National Geographic Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar