Pencarian Blog

< Laskar Satoetoejoeh K-Link Larantuka>

Sejarah Buton (Benteng Keraton)

Sabtu, 22 Maret 2014

Berhubung saat ini saya lagi dapat tempat tugas di Kota Baubau yang terletak di Pulau Buton maka tidak ada salahnya juga saya berbagi cerita mengenai salah satu situs sejarah yang masih berdiri kokoh dan menjadi tempat tujuan wisata yang menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Situs sejarah yang saya maksud yakni Benteng Keraton Buton yang terletak di atas bukit dan berdiri sejak abad 16.
Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat.Mulai dibangun sejak pemerintahan La Sangaji ke-3 (1591-1597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir pemerintahan Sultan ke-6, La Buke Gafarul Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda. Lokasi Benteng Keraton berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Baubau. Benteng yang terbuat dari batu gunung dan direkatkan menggunakan pasir dan kapur ini terkenal sebagai benteng terluas di dunia menurut Museum Rekor Indonesia dengan luas 22,8 Ha dan panjang 2.740 meter. Tinggi benteng 1-8 meter dengan ketebalan dinding 50 cm hingga 2 meter. Memiliki 16 kubu pertahanan, 12 pintu, dilengkapi 100 meriam yang diletakkan di setiap pintu dan sudut benteng.

                                                Salah satu sudut Benteng Keraton Butno
Saking besar dan megahnya, bangunan ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Seribu Benteng. Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya. Benteng kecil ini menjadi pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap benteng dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia. Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan, karena tempatnya selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk dikuasai musuh. Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana berdasarkan letaknya yang stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah lembah. Selain itu ada pula daerah yang dijadikan sebagai fungsi penghancuran bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat benteng, dikenal dengan nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh.

                                      Meriam yang berada di salah satu Benteng Keraton Buton
Di dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian raja/sultan), malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera). Situs sejarah batu popau yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat vital wanita. Di atas batu inilah setiap sultan yang terpilih dilantik dan diambil sumpahnya.

                                         Batu Popaua tempat pelantikan Raja/Sultan Buton
Sulana Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultananan Buton. Tiang bendera dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan keempat Dayanu Iksanuddin dan Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna yi Watole. Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih terpancang dan pernah mengibarkan banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih.

                                         Tiang Bendera yang terletak di dekat Masjid Keraton Buton
Di dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang terbuat dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain dari gigi-gigi buatan sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya. Dengan demikian maka rumah ini bisa dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita dapat membeli rumah di satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah yang dibeli akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa mengangkut atau memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu dibongkar. Istimewanya lagi bahwa malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap raja membangun rumah sendiri.

                                                          Rumah Adat Kerajaan Buton
Masigi Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton)dibangun dua abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500 orang.Masigi Keraton dibangun berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap komponen bangunannya sarat dengan simbol yang kaya akan makna. Menurut Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid menggunakan 313 potongan kayu, sama banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta dilengkapi 12 pintu dan jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti lubang hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.

                                                                Masjid Keraton Buton
Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik karena dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus jenazah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna. Para pengurus masjid, sebelum menjalankan tugas terlebih dahulu dilantik dengan penyerahan tongkat sebagai surat keputusannya. Khatib mempunyai tanggung jawab menjaga ketertiban lingkungan keraton, termasuk menjaga wabah penyakit. Bila dalam sepekan setelah khutbah di masigi ternyata terjadi bencana maka sang khatib pun akan dicopot dari jabatannya.
Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang salat Jumat. Petugas pemukul bedug disebut tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain tenun khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.

                                                  Anggota dewan masjid pulang sholat jumat
Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang salat, para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin salat. Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan salat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum salat dimulai. Ritual sebelum salat dimulai terlihat rumit, namun semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang dicoba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.
So, Inilah salah satu warisan budaya atau peninggalan sejarah yang masih bisa kita lihat wujudnya secara utuh di Pulau Buton ini. Saya salut dengan pemerintah setempat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan dan melestarikan warisan budaya khususnya di Benteng Keraton Buton. #salam
Sumber cerita : Hamzah Palalloi dan M.Jufri Rahim
Sumber gambar : Forum National Geographic Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar