Membaca sejarah tentang asal usul manusia
Lamaholot yang ditulis oleh beberapa cendekiawan asal Flores Timur (Flotim),
khususnya asal Adonara sangat menarik, terutama tulisan dari kakan kebelan DR.
Chris Boro Tokan tahun 2008 yang lalu sangat menarik. Apalagi sejarah ini hanya
didapat melalui kisah oral dari sesepuh adat yang ada di daratan pulau Adonara.
Namun dalam semua tulisan tentang manusia
Adonara, tidak ada catatan tentang hubungan antara Pati Golo Arakiang yang
menjadi penguasa Ile Mandiri dan sekitarnya dan Klake Ado Pehang beda yang
menguasa Ile Boleng dan sekitarnya.
Menurut penuturan sesepuh adat Ile Boleng yang
ada di desa Boleng (Lamanele Atawatan), Lamanele, Lamanele Bawah (Nobo) dan
Lama Bajung, bahwa antara Pati Golo dan Ado Pehang merupakan dua saudara
kandung yang datang dengan berlayar dari daerah Rera Gere (timur). Keduanya
mendapat musibah di selat Boleng, mengakibatkan Ado Pehang terdampar di
Lembata, tepatnya wilayah Waibaja Loang. Sementara adenya Pati Golo terbawa
arus dan terdampar di Solor (daerah sekitar Pamangkayo depan Kota Larantuka
sekarang. Dari Solor Pati Golo Melihat cahaya api yang muncul di atas puncak
Ile Mandiri.
Dengan keahlian yang dimiliki, Pati Golo
membuat perahu untuk menyeberang ke Larantuka, dan terus menyusuri kaki gunung
Ile Mandiri menuju sumber api yang dilihatnya. Dan bertemulah dengan seorang
putri Ile Mandiri yang merupakan titisan Rera Wulan yang kelak menjadi
isterinya. Pati Golo memiliki sifat kepemimpin, walaupun dia adalah adik dari
Ado Pehang Beda. Maka Jadilah raja Pati golo yang bergelar Arakiang merupakan
pengakuan dari kerajaan di Sulawesi. Pati golo dan isterinya putri titisan Rera
Wulan Ile Mandiri (Watowele) beranak pinak dan menurunkan raja-raja lainnya di
Lamaholot yang dikenal dengan clan (suku) Demong.
Sebaliknya, Ado (Pehang) Beda yang terdampar
di Waibaja (Loang) mengembara ke pedalaman Lembata. Dalam pengembaraan,
menyusuri sungai Waibaja sampai ke pertengahan Lembata, beliau tidak menjumpai
seorang manusia, di hulu sungai Waibaja, atau orang pedalaman Lembata (Boto,
Atawuwur dan sekitarnya) menyebut Wai Raja, Ado Pehang Beda menanamkan sebatang
pohon cendana, sebagai batas perjalanannya (katanya hingga kini masih ada).
Selanjutnya Ado Pehang beda kembali lagi ke
Waibaja. Dan di sinilah dia melihat adanya cahaya api di puncak Ile Boleng.
Dengan kemampuan yang dimiliki, Ado Pehang (Beda) membuat perahu dan
menyeberang ke Adonara. Dalam penyeberangan Ado Pehang mendarat di sebuah selat
kecil yang dikenal sampai sekarang dengan sebutan Wai Tolang, di bawah desa
Tanah Boleng sekarang. Daerah yang penuh batu tidak menghalanginya untuk
menemukan sumber cahaya api yang ada di atas gunung. Akhirnya dia menjumpai suatu
tempat yang sangat bersih di bawah sebatang pohon yang sangat rindang.
Singkat cerita, ditempat inilah Ado Pehang
bertemu dengan Sedo Boleng yang merupakan putri titisan Rera Wulan Ile Boleng.
Atas ijin dan restu Rewa Wulan, Tanah Ekan keduanya menjadi suami istri, yang
kelak disebut klake (blake) Ado Pehang Beda dan Kwae sedo Boleng). Keduanya
juga beranak pinak hingga menurunkan clan (suku Paji).
Turunan klake Ado Pehang dan Kwae Sedo Boleng
merupakan turunan Rae Kbelan (Anak Wruin) maka dalam perkembangannya mereka
tidak mau dikuasai oleh turunan raja Pati Golo yang dianggap Rae Rabe Arik.
Kelangsungan beranak pinak Klake Ado Pehang dan Kwae Sedo Boleng agaklah unik.
Mereka memiliki keberanian yang mumpuni tetapi tidak mempunyai jiwa kepemimpin
pemersatu, namun tetap hidup dalam keakraban yang kental. Anak pinak Pehang
Beda akhir hidup dengan bekerja sebagai petani dan mengolah tanah hingga Wai
Tolang tempat pendaratan Ado Pehang pertama kali.
Dari sini sebagian dari mereka menetap di
pesisir atau lebih dekat dengan laut yang dikenal dengan istilah ata watan dan
yang tetap dipedalamanan disebut Ata Kiwang (bukan Islam dan katolik).
Perkembangan pelayaran semakin ramai, membuat manusia Ata Watan sering
berhubungan dengan pendatang dari sina Jawa, Ternate Tidore dan Sulawesi.
Karena cara hidup yang berbeda membuat Ata Watan pindah lagi ke pedalaman,
kelompok ini akhirnya menyebar membentuk Lewo Tanah Boleng, Lamawolo,
Lamahelang, Lewo Keleng, dan yang masih di puncak Ile Boleng turun dan menetap
di Haru Bala, Nobo, dan agak kevutara menetap di Lama Bajung.
Manusia Ata Watan yang bisa berbaur dengan
pendatang akhirnya pindah ke Boleng yang dianggap tempat yang cukup strategis
untuk berlabuh perahu, juga berlindung. Penyebaran anak pinak Ado Pehang tidak
sedikitpun mencerai pisahkan tali persaudaraan mereka hingga kini, karena
setiap pesta budaya adat mereka selalu bersatu hingga kini.
Semakin ramainya hubungan dengan dunia luar
terutama dari Ternate, Tidore dari timur serta sina Jawa dan Sulawesi dari
barat dan utara membuat mereka mulai mengenal cara memimpin dan membentuk
raja-raja kecil. Misalnya ada yang menjadi Raja Lama Hala, Raja Lama Kera, dan
raja Terong (kerabat) sedangkan Raja Menaga, Lohayong merupakan turunan dari
Pati Golo.
Sementara Turunan Ado Pati yang ada di
Lamanele (Lamanele, Nobo dan Boleng (tetap dianggap Ata Kiwang) karena masih
tetap berhungan erat dengan orang pedalaman tetap hidup damai dalam kesatuan
adat dan budaya tradisional (perubahan dari adat budaya primitif) tetap menjadi
ata kebelan dan tidak menjadi wilayah kekuasaan Raja Lamahala, Lamakera,
Witihama dan raja-raja lainnya. Manusia Lamanela atau yang disebut manusia Ile
Ae (depan gunung) tetap dianggap ata kebelan oleh raja-raja sekitarnya, baik
raja-raja yang dikenal dengan sebutan Solor Watan Lema, maupun Raja Witi Hama,
Adonara dan Sagu.
Kebesaran Ata Kebelan Lama Nele disebut Ata
Kiwang termasuk Boleng bisa dibuktikan dengan perasasti sejarah hingga saat
ini, seperti:
1. Mendamaikan/menghentikan perang antara Raja
Lama Hala dan Raja Lama Kera. Peperangan ini tidak bisa didamaikan oleh raja
raja dari turunan anak pinak Pati Golo, karena mereka merasa yang berperang
adalah Ata Kebelan. dan mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Kebelan Lamanele.
Bukti sejarah hingga kini bisa disaksikan dengan dua buah benteng dari batu
yang berdiri kokoh mengelilingi desa boleng yang dibangun oleh raja lamakera
dan yang mengelilingi desa Lamanele Reren (sekarang Nobo) yang dibangun oleh
Raja Lamahala.
2. Bukti prasasti lainnya adalah benda
berbentuk naga yang terbuat dari emas tanah serta benda2 kuno lainnya yang
masih tersimpan rapi di rumah adat Lamanele Reren (Nobo) merupakan hadiah dari
para pendatang buat pembesar Lamanele walaupun bukan raja.
3. Atas persetujuan sesepuh adat Lamanele
Reren dan Lamanele Blolon, sesepuh Boleng bisa menghentikan perang antara Paji
dan Demong, sehingga terciptalah nama Adonara oleh anak pinak Pati Golo, bahwa
pulau yang ada di depan Larantuka adalah milik Ado yang merupakan saudara dari
Pati Golo. Ado adalah Ado Pehang sementara Nara adalah saudara.
4. Kehebatan manusia Lamanele tidak hanya di
Adonara, tetapi sampai ke Lembata dan mampu meredam terjadinya peperangan di
Lembata, sebagai hadianya, tanah di pesisir Wai Jarang hingga Wai Baja
diserahkan kepada orang-orang Lamanela Ata Kiwan maupun Ata Watan. Kepemilikan
tanah di Wai Jaran, Wewan Belan, Kwaka, Wai Baja di kabupaten Lembata hingga
kini menjadi milik anak pinak Ado Pehang yaitu (orang Boleng di Wai Jarang,
Wewan Belan, Wai Baja) sementara orang Lamanele Reren (Nobo) menguasai tanah di
Kwaka.
Itulah sekelumit kisah orang yang saya dengar
dari orang tuaku almarhum Bonto Ata Boleng, dan bapa Belan Gaen Roma Boli, yang
merupakan anak cucu dari seorang tua yang beranak Asan Boleng yang merupakan
teman akbar Raja Molo Gong. Walaupun tidak sempurna, namun bisa menjadi pijakan
bagi panitia emebentukan kabupaten Adonara untuk menelusurinya.
Jadi kita semua satu, jangan ribut soal Heku
Kebelan Heku Ata Ribu, tapi siapapun menjadi pimpinan Adonara kelak adalah
saudara kita semua, maka mari bergandeng tangan untuk mewujudkan Adonara yang
satu dalam sejahtera baik lahir maupun bathin. Tidak ada yang merasa menang dan
tidak ada yang merasa kalah, semua satu, satu, satu untuk tanah Tadon Adonara.